1. A.    Pendahuluan

Agama merupakan sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan, keimanan dan kepercayaan seseorang. Dalam pembahasan ini, agama dipandang dan diteliti tidak secara sepihak atau memandang agamanya lebih baik dan menghina agama lain. Namun, pemahaman agama di pandang secara obyektif mengenai kebenarannya dengan sikap yang relatif. Hal itu diperlukan beberapa pandangan atau pendapat dari beberapa para ilmuwan. Tujuan dari kajian ini untuk mengungkapkan argumen-argumen yang logis, meningkatkan pemahaman agama dan memperjelas bahasan agama dilihat dari sudut pandang beberapa para ahli dan dilihat dari beberapa metode atau pendekatan.

Dalam buku Seven Theories of Religion, Daniel L. Pals[1] menyatakan bahwa pada awalnya orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. Kasus seperti ini juga terjadi di Indonesia pada awal tahun 70-an, di mana penelitian agama masih dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang berkata: mengapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti lagi, agama adalah wahyu Allah yang tidak bisa diutak-atik. Namun seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan.

Ajaran-ajaran Islam terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits, namun selama ini beberapa kalangan masyarakat Islam masih memandang Islam secara sempit, yakni sebatas pada hal-hal yang bersifat normatif, formalistis dan simbolis, perlu adanya upaya sadar bagi kita umat Islam untuk bisa memperbaharui cara pandang yang sempit tersebut, sehingga Islam memiliki dimensi kajian dan pengalaman yang lebih luas lagi.

Untuk menjadikan dimensi Islam yang lebih luas dan utuh inilah maka Charles J Adams dalam bukunya The Study Of The Middle East menjelaskan tentang apa itu Islam dan agama agar dapat didefinisikan dengan tepat sesuai dengan konteksnya. Kemudian Charles J Adams mengutarakan beberapa pendekatan dalam studi Islam diantaranya pendekatan yang dapat ditawarkan yakni pendekatan normatif-keagamaan, pendekatan ilmu-sosial, pendekatan psikologis-antropologis dan pendekatan fenomenologis. Pendekatan normatif atau agama dibagi menjadi tiga bagain yaitu : pendekatan misianaris tradisional, pendekatan apalogetik dan pendekatan irenik.

Terdapat kesulitan yang sangat esensial dalam melakukan kajian terhadap Islam menurut Charles J Adams. Hal ini terkait adanya kesulitan untuk membuat batasan atas dua unsur, yaitu Islam dan tradisi keagamaan. Problem terpenting adalah belum adanya definisi yang tepat dan universal terhadap kedua terminologi tersebut diatas. Adams kemudian mencoba menjawab Kesulitan ini untuk melihat Islam dengan berbagai metode dan pendekatan yang lebih relevan dan universal seperti  pendekatan Normatif, pendekatan Filologi dan historis, pendekatan Ilmu Sosial, dan pendekatan Fenomenologi dalam memetakan antara Islam dan tradisi keagamaan. Dengan berbagai alternatif pendekatan yang digunakan oleh Adams, ia ingin menunjukkan walau bagaimanapun bahwa Islam memiliki aspek historis yang termanifestasikan dari pengalaman dan tindakan umatnya dalam menunjukan keimannya.[2]

  1. B.     Islam dan Sasaran Pendekatan Studi Agama

a.      Pengertian Studi Islam

Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Dalam kajian Islam di Barat studi Islam disebut Islamic Studies. Dengan demikian, studi Islam secara harfiyah adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman.

Dalam wacana studi Islam, Islam secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dari kata salima diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri. Dengan demikian, arti pokok Islam adalah ketundukan, keselamatan dan kedamaian.

Berpijak pada arti Islam di atas, maka studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada beberapa hal :

1)      Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri. Sikap berserah diri kepada Tuhan itu secara inheren mengandung konsekuensi, yaitu pengakuan yang tulus bahwa Tuhan satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak.

2)      Islam bermuara pada kedamaian. Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber (Q.S Al-Anbiya’:22). Manusia merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga diciptakan dari satu sumber, yakni thin melalui seorang ayah dan seorang ibu, sehingga manusia harus berdampingan dan harmonis dengan manusia yang lain, berdampingan dengan makhluk hidup lain, bahkan berdampingan dengan alam raya.

Dari arti di atas, studi Islam mencerminkan gagasan tentang pemikiran dan praksis yang bernuansa pada ketundukan pada Tuhan, selamat di dunia-akhirat dan berdamai dengan makhluk lain.

  1. Aspek Sasaran Studi Islam

Antara agama dan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya hubungan yang belum serasi. Jaringan komunikasi ilmiah dianggap belum menjangkau agama. Dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam bidang ilmiah terdapat sikap sebaliknya, yakni sikap rasional dan terbuka. Antara agama dan ilmu pengetahuan memang terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan. Dari unsur perbedaan itu sulit untuk dipertemukan.

Studi Islam sebagai kajian tidak lepas dari keduanya. Antara apek sasaran keagamaan dan keilmuan sama-sama dibutuhkan dalam diskursus ini. Oleh karena itu, aspek sasaran Studi Islam meliputi dua hal tersebut, yaitu aspek sasaran keagamaan dan aspek sasaran keilmuan.

1.      Aspek sasaran keagamaan

IAIN sebagai lembaga keagamaan, menuntut para pengelola dan civitas akademiknya untuk lebih menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, bahkan seringkali diwarnai pembelaan yang bercorak apologis. Dari aspek sasaran ini, wacana keagamaan dapat ditransformasikan secara baik dan menjadikan landasan kehidupan dalam berperilaku tanpa melepaskan kerangka normatif. Pertama, Islam sebagai dogma juga merupakan pengalaman universal dari kemanusiaan. Kedua, Islam tidak hanya terbatas pada kehidupan setelah mati, tetapi orientasi utama adalah dunia sekarang.

2.      Aspek Sasaran Keilmuan

Studi keilmuan memerlukan pendekatan yang kritis, analitis, metodologis, empiris dan histories. Oleh karena itu, konteks ilmu harus mencerminkan ketidakberpihakan pada satu agama, tetapi lebih mengarah pada kajian yang bersifat obyektif. Dengan demikian, studi Islam sebagai aspek sasaran keilmuan membutuhkan berbagai pendekatan.

Dalam studi Islam, kerangka pemikiran ilmiah di atas ditarik dalam konteks keislaman. Pengkajian terhadap Islam yang bernuansa ilmiah tidak hanya terbatas pada aspek-aspek yang normative dan dogmatis, tetapi juga pengkajian yang menyangkut aspek sosiologis dan empiris. Pengkajian Islam ini dapat dilakukan secara paripurna dengan pengujian secara terus menerus atas fakta-fakta empiric dalam masyarakat yang dinilai sebagai kebenaran nisbi dengan mempertemukan pada nilai agama yang bersumber dari wahyu sebagai kebenaran absolute. Dengan demikian, kajian keislaman yang bernuansa ilmiah meliputi aspek kepercayaan normative-dogmatif yang bersumber dari wahyu dan aspek perilaku manusia yang lahir dari dorongan kepercayaan.

  1. C.    Pendekatan Ilmu Sosial

Ilmu sosial dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal ini dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dipahami secara Imporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosial. Pentingnya pendekatan sosial dalam agama sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.[3]

Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya, pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosiologi, antrapologi dan lain sebagainya. Pendekatan sosial ini seperti apa perilaku keagamaan seseorang di dalam masyarakat apakah perilakunya singkron dengan ajaran agamanya atau tidak. Pendekatan ilmu sosial ini digunakan untuk memahami keberagamaan seseorang dalam suatu masyarakat.[4]

  1. D.    Pendekatan Sosiologi
    1. 1.      Sekilas tentang Perkembangan Sosiologi

Sosiologi adalah Ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi: ilmu yang mempelajari struktur dan proses-proses sosial, termasuk perubahan social.[5]

Istilah sosiologi pertama dikenalkan oleh Aguste Comte (1798-1857). Ia sering dipandang sbg bpk disiplin ilmu ini. Sbg disiplin akademis mandiri, sosiologi berusia kurang 200 tahun. Utk menjelaskan fenomena-fenomena kemasyarakatan, menurut comte, digunakan satu metode ilmiah sebagaimana pada hukum-hukum alam.[6]

Jauh sebelum Comte, tepatnya tahun (1333-1406) Ibnu Khaldun sudah merumuskan satu model tentang suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat yang halus, bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Sikap ilmiah Ibnu Khaldun dalam menganalisa gejala sosial pada umumnya mendekati bentuk penelitian ilmiah modern, dan secara substantif dapat disejajarkan dengan teori sosial modern.[7]

Semenjak kelahirannya, sosiologi concern dengan studi agama, meskipun perhatiannya terkadang menguat dan melemah. Karya-karya founding fathers sosiologi, termasuk Comte, Durkheim, Max dan Weber,[8] sering mengacu pada wacana-wacana sosiologis atau studi perilaku dan sistem keyakinan keagamaan. Namun demikian, pada pertengahan abad 20, para sosiolog di Erofa atau Amerika Utara melihat bahwa agama memiliki signifikansi marginal dalam dunia sosial, dan sosiologi agama bergerak dalam garis tepi studi sosiologis.

Seiring dengan datangnya postmodernitas (high or late modernity) dan bangkitnya agama dalam beragam konteks global, agama kembali memperoleh signifikansi sosiologis baik dalam masyarakat yang sedang berkembang maupun di Erofa dan Amerika Utara. Konsekuensinya studi sosiologi terhadap agama mulai keluar dari garis tepi disiplinnya dan memanifestasikan tumbuhnya minat pada mainstream sosiologis yang memfokuskan perhatiannya sekitar persoalan ekologi dan perwujudan, gerakan dan protes sosial, globalisasi, nasionalisme dan postmodernitas.

Menurut anggapan umum, Aguste Comte dan Henri Saint Simon adalah pendiri sosiologi. Bagi Comte, sosiologi mengikuti jejak ilmu alam. Observasi empiris terhadap masyarakat manusia akan melahirkan kajian rasional dan positivistik mengenai kehidupan sosial yang akan memberikan prinsip-prinsip pengorganisasian bagi ilmu kemasyarakatan. Dalam pandangan Comte, bentuk positivistik konsepsi sosiologis akan membawa konsekuensi hilangnya agama dan teologi sebagai model prilaku dan keyakinan dalam masyarakat modern.

Sedangkan Durkheim, dalam kajian sosiologinya memfokuskan agama pada aspek fungsi, di mana agama dilihatnya sebagai jembatan ketegangan dengan suku atau kelompok lain, karena agama seringkali melahirkan keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat dalam suatu proyeksi kebersamaan, sekumpulan nilai dan tujuan sosial bersama. Kondisi inilah yang memperkuat fanatisme kelompok sosial sehingga saat berhadapan dengan kelompok lain yang berbeda agama, akan sangat mudah memunculkan ketegangan antar kelompok.

Setelah Durkheim, kajian sosiologi terhadap agama mengalami perkembangan yang cukup signifikan, misalnya muncul para sosiolog yang bernama Talcott Parsons, Robert Bellah, Bryan Wilson, Karl Marx, Max Weber dan beberapa sosiolog lainnya yang cukup serius mengkaji agama dengan pendekatan sosiologi, kendatipun banyak diantaranya yang memperkuat paham sekuler.

  1. 2.      Sosiologi Dalam Islam

Pada zaman dahulu, dalam berdakwah  nabi Musa dalam tugasnya harus dibantu oleh nabi Harun, mengapa? Karena nabi Harun lebih memahami karakteristik masyarakat pada zaman itu. Beberapa hikmah dari suatu peristiwa baru ditemukan setelah diteliti dengan bantuan ilmu sosial (sosiologi). Semua bisa jelas apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat teks itu diturunkan. Lima perhatian agama terhadap masalah sosial ala Jalaludin Rahmat:[9]

a)      Al-Qur’an/Kitab Hadis memiliki proporsi terbesar tentang hal-hal yang berkaitan dengan muamalah. Perbandingan antara ayat sosial dengan ayat ibadah= 100:1. Contoh, surat al-Mukmnun 1-9: ciri orang yang mukmin: shalatnya khusu’,menghindarkan diri dari perbuatan yang tak bermanfaat, menjaga amanat dan janjinya, dpt menjaga kehormatan dari perbuatan maksiat.

b)      Penekanan terhadap masalah muamalah ini membolehkan penangguhan/perpendekan masalah ibadah individual bila waktunya bersamaan dengan urusan ibadah bersama : Penerapan shalat jamak/qasar dlm safar sangat mempertimbangkan waktu kebersamaan dlm perjalanan.

c)      Masalah ganjaran: ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih dari ibadah yang bersifat perseorangan : Salat berjamaah vs salat sendiri= 27:1

d)     Masalah kifarat: ibadah yang tidak sempurna atau batal krn melanggar pangatangan tertentu, maka tebusannya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.

n  Berhubungan waktu puasa: 4 bln berturut atau memerdekakan budak

n  Tidak sanggup berpuasa: fidyah

n  Berihram:potong unta

e)      Amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah : “maukah kamu aku beritahu derajat apa yang lebih utama daripada salat, puasa, dan sadaqah?,sahabat menjawab: “tentu”. Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar(HR. Abu Dawud, Turmuzi, dan Ibnu Hibban)

  1. 3.      Karakteristik Dasar Pendekatan Sosiologi

Teorisasi sosiologis tentang karakteristik agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong untuk ditetapkannya serangkaian kategori sosiologis, meliputi:

a.       Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas.

b.      Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak dan usia.

c.       Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran dan birokrasi.

d.      Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan dan globalisasi.

Peran kategori-kategori dalam studi sosiologi terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma utama tradisi sosiologi dan oleh refleksi empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan. Paradigma fungsionalis yang mula-mula berasal dari Durkheim dan kemudian di-kembangkan oleh sosiolog Amerika Utara Talcott Parsons, secara khusus memiliki pengaruh kuat dalam sosiologi agama. Parsons melihat bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang dapat disamakan dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sistem sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik yang memberikan kontribusi terhadap kesehatan dan vitalias sistem sosial serta dapat menjamin kelangsungan hidup manusia.

Sedangkan bagi Bryan Wilson, agama memiliki fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifesnya adalah memberikan keselamatan identitas personal dan jiwa bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan fungsi latennya adalah memberdayakan personal dan spiritual dalam menghadapi gangguan emosional inner, kondisi spiritual dan upaya untuk menghadapi ancaman keimanan dan penyembahan.

Untuk mendapatkan gambaran dari persoalan-persoalan yang dikaji, para sosiolog menggunakan dua corak metodologi penelitian, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survey terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktik kehadiran di gereja. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Rodney Stark dan William Bainbridge dalam The Future of Religion saat mengumpulkan sejumlah besar database statistik nasional dan regional tentang kehadiran di gereja dan keanggotaan peribadatan dalam upaya menghasilkan teori sosial yang telah direvisi mengenai posisi agama dalam masyarakat modern. Sedangkan penelitian kualitatif terhadap agama disandarkan pada komunitas atau jamaah keagamaan dalam skala kecil dengan menggunakan metode seperti pengamatan partisipan atau wawancara mendalam. Metode ini diprakarsai oleh Max Weber[10]  dan kemudian disempurnakan oleh Ernst Troeltsch dari Jerman. Jelasnya bahwa dua metode tersebut (kuantitatif dan kualitatif) dapat digunakan untuk meneliti agama melalui pendekatan sosiologi.

  1. 4.      Obyek Kajian dalam Pendekatan Sosiologi

Menurut M. Atho Mudzhar, pendekatan sosiologi agama dapat mengambil beberapa tema atau obyek penelitian,[11] seperti:

a.       Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat.

b.      Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat ter-hadap pemahaman ajaran atau konsep keagamaan.

c.       Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat.

d.      Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim.

e.       Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menjunjung kehidupan beragama.

Setiap tema yang dikaji, setidaknya tetap relevan dengan teori sosiologi, baik teori fungsionalisme, konflik maupun interaksionalisme. Teori fungsionalisme dan konflik bekerja dengan cara analisis makro sosiologi yaitu memfokuskan perhatiannya pada struktur sosial. Adapun teori interaksionalisme dengan cara analisis mikro, yaitu lebih mem-fokuskan perhatiannya pada karakteristik personal dan interaksi yang terjalin antar individu.

5.      Perbedaan antara sosiologi dan antropologi

Setelah menguraikan secara singkat pendekatan sosiologi di atas, dapat dijelaskan perbedaan antara pendekatan antropologi dan sosiologi, yaitu sama-sama mengkaji manusia (masyarakat) dan hal-hal yang terkait dengannya. Sedangkan pada lingkup agama, kedua pendekatan tersebut memiliki perbedaan pada fokus atau obyeknya. Kajian agama yang menggunakan pendekatan antropologi lebih terfokus pada naskah dan simbol agama, para penganut atau pemuka agamanya, ritus dan lembaga serta ibadatnya, alat-alat, serta organisasi keagamaannya. Sedangkan kajian agama yang menggunakan pendekatan sosiologi lebih terfokus perhatiannya pada fungsi, konflik dan interaksi yang ada dalam kehidupan beragama.

E.     Contoh Kajian Islam Dengan Pendekatan Sosiologi

Contoh konkrit kajian Islam dengan menggunakan pendekatan sosiologi dalam kehidupan sehari-hari antara lain adalah metode dakwah yang dipergunakan wali songo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dengan keberadaan agama Hindu dan Budha yang terlebih dahulu memasuki Indonesia, maka para wali menggunakan pendekatan Sosiologi dalam memahamkan masyarakat Jawa tentang Islam.

Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Salah satu contoh cerita para wali antara lain Sunan Kalijaga juga punya murid bernama Sunan Geseng. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira.

Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.

Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat.

Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini masih bugar, mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik.

Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik –anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.

Ki Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada setiap bulan Syafar.

Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu.

Kemudian cerita lainnya yaitu  cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

  1. F.     Kesimpulan

Pada  awalnya orang Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan.

Beberapa pendekatan dalam studi Islam diantaranya pendekatan yang dapat ditawarkan yakni pendekatan normatif-keagamaan, pendekatan ilmu-sosial, pendekatan psikologis-antropologis dan pendekatan fenomenologis. Pendekatan normatif atau agama dibagi menjadi tiga bagain yaitu : pendekatan misianaris tradisional, pendekatan apalogetik dan pendekatan irenik.

Maksud pendekatan ilmu sosial ini adalah implementasi ajaran Islam oleh manusia dalam kehidupannya, pendekatan ini mencoba memahami keagamaan seseorang pada suatu masyarakat. Fenomena-fenomena keislaman yang bersifat lahir diteliti dengan menggunakan ilmu sosial seperti sosiologi, antrapologi dan lain sebagainya.

Pada zaman dahulu, dalam berdakwah  nabi Musa dalam tugasnya harus dibantu oleh nabi Harun, mengapa? Karena nabi Harun lebih memahami karakteristik masyarakat pada zaman itu. Beberapa hikmah dari suatu peristiwa baru ditemukan setelah diteliti dengan bantuan ilmu sosial (sosiologi). Semua bisa jelas apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat teks itu diturunkan. Lima perhatian agama terhadap masalah sosial ala Jalaludin Rahmat:

a)      Al-Qur’an/Kitab Hadis memiliki proporsi terbesar tentang hal-hal yang berkaitan dengan muamalah. Perbandingan antara ayat sosial dengan ayat ibadah= 100:1. Contoh, surat al-Mukmnun 1-9: ciri orang yang mukmin: shalatnya khusu’,menghindarkan diri dari perbuatan yang tak bermanfaat, menjaga amanat dan janjinya, dpt menjaga kehormatan dari perbuatan maksiat.

b)      Masalah ganjaran: ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih dari ibadah yang bersifat perseorangan : Salat berjamaah vs salat sendiri= 27:1

Peran kategori-kategori dalam studi sosiologi terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma utama tradisi sosiologi dan oleh refleksi empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan.

Persamaan antara pendekatan antropologi dan sosiologi, yaitu sama-sama mengkaji manusia (masyarakat) dan hal-hal yang terkait dengannya. Sedangkan perbedaannya adalah kajian agama yang menggunakan pendekatan antropologi lebih terfokus pada naskah dan simbol agama, para penganut atau pemuka agamanya, ritus dan lembaga serta ibadatnya, alat-alat, serta organisasi keagamaannya. Sedangkan kajian agama yang menggunakan pendekatan sosiologi lebih terfokus perhatiannya pada fungsi, konflik dan interaksi yang ada dalam kehidupan beragama.

Posted by Syarifah. Dosen di Institut Studi Islam Darussalam Gontor yang sedang menempuh study S2 di UIN Sunan Kalijaga dengan Konsentrasi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam. Alumni Gontor putri 1 tahun 2005 ini telah dikaruniai seorang putra dan suami yang slalu setia menemaninya di saat senang maupun pahit.

Daftar Pustaka

Abuddin Noto, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Basrowi M.S. Pengantar Sosiologi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005).

Carl Olson, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, (Canada: Thomson Wadsworth, 2003).

Charles J. Adam, “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard Binder (ed.), The Studi of the Middle-East, (New York, Wiely & Sons, tt.).

Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996).

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi:Klasik dan Modern (Jakarta:Gramedia, 1994).

M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999.

Soejono Soekanto, Sosiologi:Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1987)

Taufik Abdullah dan Rush Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.